Sebuah Pembelaan
Ngulik-ngulik file dokumen di laptop, eh nemu tulisan-tulisan jadulku. Akhirnya timbul ide mau naro tulisan acakadut ini ke blog, kasiaan ni blog gada penghuninya... ^_^
CITA-CITA
Setiap manusia punya impian
dan harapan yang ingin diraih, sesuatu yang besar dan berarti yang ingin
dicapai di suatu saat nanti yang sering kita namai dengan cita-cita. Saya masih
ingat ketika saya masih duduk di sekolah dasar, guru saya sering bertanya
kepada kami apa cita-citamu? Mau jadi apa kau kelak? Beragam jawab bermunculan.
Ada yang ingin jadi dokter, guru, insinyur, pilot, bidan, sastrawan, dan
ilmuwan. Tak seorangpun dari kami yang menjawab ingin jadi pengacara (baca:
pengangguran banyak acara). Kalau tak salah pada saat itu saya menjawab ingin
menjadi sastrawati karena saya hobbi mengkhayal. Padahal saat itu saya belum
mengerti betul apa makna dari istilah “sastrawan”. Tapi itulah yang terbersit
di hati saya, yang saya anggap waktu itu menjadi sastrawati adalah cita-cita
paling keren dan terhormat. Tapi setidaknya seorang anak kecil pasti juga punya
alasan tersendiri yang melatar belakangi rencana besar masa depannya.
Sejak kecil saya dan adik
yang dibawah saya sudah terbiasa bertemankan buku-buku, khususnya buku cerita
dan majalah anak-anak. Kami sering berantem karena buku, kompak karena buku,
dan mengendap di kamar karena buku. Kami berdua adalah kutu buku yang
menyebalkan, setidaknya begitu kadang-kadang perasaan mama yang saya tangkap
dari setiap omelannya, karena pekerjaan rumah yang menjadi tanggung jawab kami
berdua jadi terbengkalai karena kami asyik membaca buku. Tapi kasih sayang
seorang Ibu memang tiada terhingga, meski kadang kesal tapi tetap saja beliau
membawakan kami buku-buku cerita yang dipinjam dari perpustakaan sekolah, yang
kami sendiri tidak bisa leluasa meminjamnya. Ayah juga begitu, tak pernah absen
membelikan majalah Bobo, Annida, Muslimah, bahkan Sabili dan koran jika bepergian ke
luar kota, seperti Padang Sidempuan. Dulu setiap bulan biasanya Pesantren Lona
dapat kiriman majalah dari kemdiknas pusat, seperti majalah Horison. Saya
sangat suka membaca majalah yang satu ini, sastra banget! Dari membaca, saya
ingin bisa menulis seperti apa yang saya baca. Maka sejak saat itulah saya
ingin menjadi sastrawati.
Tapi meraih sebuah impian besar
tidaklah mudah. Lika-liku kehidupan terkadang tidak membawa kita pada tujuan
yang kita inginkan, bahkan seringkali cita-cita itu terlupakan dan harus
dilupakan. Cita-citapun berganti seiring perjalanan anak manusia itu sendiri.
Ketika kecil ingin menjadi dokter, karena sering melihat di tv betapa gagahnya
seorang dokter dengan jas putih dan stetoskop menggantung di lehernya, lalu ketika
mulai aqil baligh ingin menjadi jurnalis, namun ketika beranjak dewasa mulai
gamang mau jadi apa aku nanti. Dan setelah tua inilah aku yang sebenarnya.
Sejatinya cita-cita adalah target dan rencana hidup kita ke depan, bukan karena
ikut-ikutan trend. Ia tumbuh di hati dan terus berkembang. Ia menyatu dengan
aliran darah dan memompa semangat kita untuk serius mendapatkannya. Intinya,
cita-cita adalah sesuatu yang harus dibayar mahal dengan pengorbanan dan
kemauan yang kuat.
Umur saya sekarang hampir
genap 22 tahun. Sekarang saya berada dalam fase kegamangan. Saya mulai
meragukan cita-cita dan diri saya. Rasa pesimis dan skeptis mulai menjalar.
Saya mungkin tidak cocok menjadi penulis, apalagi menjadi sastrawati. Mungkin
waktu kecil saya hanya terlalu terbawa emosi untuk menjadi penulis hebat,
karena kenyataannya sekarang saya merasa jiwa saya tidak lagi sepenuhnya berpegang
pada cita-cita ini. Saya mulai memikirkan apa sebenarnya inti dari cita-cita?
Mungkin renungan dan fikiran ini hanyalah bentuk pelarian dari ketidak mampuan
saya mencapai apa yang saya inginkan, atau sebuah pembelaan dari ketidak
berdayaan saya untuk menggapainya. Atau apalah alasannya inilah yang terbit
dari benak saya tentang inti sebuah cita-cita.
Setiap cita-cita, insya
Allah bertujuan baik. Saya kira tak ada seorangpun semenjak kecil sudah
bercita-cita menjadi pembunuh, perampok, ataupun koruptor. Menjadi orang jahat
atau mempunyai cita-cita kurang baik lebih disebabkan oleh faktor keadaan yang
memaksa. Kondisi dan situasi sangat berperan penting dalam membentuk diri
seseorang. Cita-cita yang bongkar pasang dan berganti-ganti juga karena
dipengaruhi oleh kondisi. Tapi seperti yang saya bilang di awal, pada
hakikatnya sebuah cita-cita adalah sebuah tujuan dan niat yang mulia.
Bercita-cita menjadi guru, tujuannya agar ikut serta mencerdaskan ummat.
Menjadi dokter, supaya tahu cara mengobati orang sakit, dan lain sebagainya.
Intinya adalah setiap individu ingin menjadi orang yang berguna bagi dirinya,
orang-orang terkasihnya, sesamanya, agamanya, dan negaranya. Itulah inti
cita-cita: menjadi pribadi yang berguna! Bukan malah menyusahkan keluarga dan
masyarakat. Apapun jadinya diri kita nanti tapi tetaplah fokuskan tujuan untuk
menjadi orang yang berguna. Karena cita-cita adalah rencana, bisa didapat dan
bisa tidak. Hanya Allah-lah yang menentukan, tentunya setelah kita berikhtiar
dan berdoa pada-Nya.
Cairo, 23.30 WK
01 April 2011
Komentar
Posting Komentar