Masih Jadul Juga

Bahkan, postingan kedua ini jauuuhhh lebih jadul lagi dari postingan pertamaku. Sudah pernah aku muat di blog lama yang entah dimana sekarang rimbanya.... Postingan kedua ini pengalamanku yang agak pahit yang kutuangkan dalam bentuk cerpen-cerpenan ^_^


HUJAN, AKU INGIN PULANG..!

Asrama Putri UIN Syahid (Aspi)
Jum’at, 01 Februari 2008

Hujan belum reda, rintik-rintiknya masih mengalunkan ritme tik-tok yang syahdu. Aku mulai bingung bercampur gelisah. Sebentar-sebentar melongok dari daun jendela menatap keadaan diluar. Ah, semakin deras.., jeritku dalam hati. Kuraih kembali mushaf kecil yang selalu setia menemaniku, kulanjutkan tilawah yang sempat terhenti. Sekonyong-konyong sebuah suara yang sangat kukenal memanggilku lengkap dengan embel-embel  ‘’Titi Kamal’’, dia adalah kak Ade, salah seorang satpam wanita di asramaku. Masih kelihatan muda dan enerjik padahal umurnya telah melewati kepala tiga, dan belum menikah.
“Titi Kamal mau pulang kampung ya?” Tanyanya dengan suara cemprengnya dari balik daun jendela yang sengaja kubiarkan terbuka. Aku tersenyum mengiyakan seraya menunjukkan kopor dan laptopku yang sudah di-packing rapi yang sebenarnya sedari tadi sudah dilihatnya.
“Kak, masuk ke dalam saja, Kak. Gerimis tuh!”
“Nggak usah, disini saja. Cuma sebentar kok.” Halus ia menolak ajakanku. “Liburannya sekalian konser dong…?” Sambungnya menggoda.
“Iya nih,” sahutku membalas dengan senyum yang agak sedikit dipaksakan. “Aku mau bikin konser Mendadak Hujan, Kak,” tambahku sekenanya memplesetkan lagu dangdut ‘mendadak dangdut’-nya Titi Kamal. Beliau tertawa lebar sampai giginya yang acak-acakan terlihat jelas.
“Bisa aja kamu ya,” celetuknya di ujung tawanya. “Jam berapa berangkatnya?” Tanyanya mulai serius seraya memperhatikan air mukaku yang menyimpan kewas-wasan.
“Jam 7 malam, Kak,  tapi nggak tahu kenapa perasaanku nggak enak aja, khawatir nggak jadi pulang kampung,” jawabku jujur mencurahkan kegundahanku. Beliau  mengangguk-angguk mafhum.
“Enjoy aja, sebentar lagi hujannya berhenti kok, lagian ini masih jam 9.30 masih lama,” katanya menenangkan seolah dapat menerka fikiranku. “Ya udah, terusin tilawahnya. Kakak mau shooting lagi nih,” lanjutnya sembari berlalu. Aku tersenyum mengangguk seraya memandangi tubuh cekingnya sampai hilang di balik tembok, ia naik ke lantai dua.Ia selalu bersikap ramah dan bersahabat dengan anak-anak ASPI yang lumayan bandel-bandel termasuk aku. Kadangkala aku berfikir, jangan-jangan penyebab utama kenapa kak Ade kenal dekat dengan aku, mungkin karena aku sering ketahuan nyelundupin teman-temanku non warga aspi ke kamar (Tapi teman cewek lho...), padahal ada peraturan aspi tidak boleh membawa teman ke kamar. Ada hikmahnya disini, kalau ingin terkenal, bandel aja!
Dan satu lagi, yang sampai sekarang aku juga belum tahu kenapa kak Ade suka memanggilku dengan sebutan Titi Kamal, jika dirunut-runut aku tidak ngefans banget sama Titi Kamal. Pada suatu hari aku beranikan bertanya ke teman sekamarku. “Yul, aku mirip Titi Kamal ya?” tanyaku penasaran tentang pendapatnya. Seketika air mukanya berubah, bola matanya membesar seolah ingin menerkamku. Menatapku dari ujung rambut sampai ujung jempol. Aku kikuk dibuatnya.
“Mirip sih kalau dilihat dari Monas pakai sedotan,” jawabnya malah meledek seraya tertawa terbahak-bahak. Rasa percaya diriku runtuh seketika.
“Gubrak...!”  apa segitunya?” protesku tak percaya . “Ih, berarti kak Ade bermaksud meledek aku aja ya?” tanyaku menerka tanpa bermaksud su’udzhon sambil ngaca di depan cermin, mencermati wajahku yang kalau lama-lama dilihat makin nyeremin.
“Bukan Titi Kamal kali, bu,  tapi Titi Kumal,” Yuli semakin menjadi-jadi meledek aku, ketawanya sudah menyaingi level Mak Lampir. Huh, nyesel aku nanya ke dia, soalnya dia buka rahasia perusahaan sih…
“Enak aja lu,” sahutku membantah. Karena aku rasa aku nggak kumal-kumal amat meski jarang mandi (nah, lho..?) Aku malah berfikir mungkin kak Ade punya obsesi jadi bintang sinetron, sehingga setiap orang yang dikenalnya yang punya sedikit kemiripan-  menurut dia- akan diberi gelar dengan artis tersebut. Beliau aja tiap piket mengontrol asrama pasti menyebutnya dengan istilah shooting. Keren kan?
“He-eh,” aku tersadar dari lamunanku ketika suara petir terdengar membahana. Kutarik gorden jendela mencegah percikan hujan masuk ke dalam kamar. Suasana Asrama Putri terasa lain dari biasanya, sepi menyapa, menyelubungi hatiku yang rindu kampung halaman. Lalu kurebahkan tubuhku di atas kasur dan dalam hitungan detik aku telah berada di alam mimpi.


                                                              ***

10.30 WIB. Aspi.
Beberapa kali kukucek mataku, tampaknya kantuk masih menggantung disana. Kupaksakan berdiri meski agak sempoyongan. Perlahan kubuka pintu kamar, lapangan aspi langsung menyambutku dengan permukaanya yang dibanjiri air hujan. Aku tersenyum sendiri, teringat dengan teman-teman sekamarku yang suka main hujan di lapangan ini.
Hujan belum mereda bahkan lebih deras dibanding sebelum aku tidur,  padahal jam 12 siang aku ada janji dengan kakak untuk menemuinya sebelum aku kembali ke Medan. Kualihkan perhatian ke layar HP, melirik jamnya.
“Aku nggak punya waktu banyak. Aku harus pergi,” gumamku nekat. Dengan tekad ’45 kuseret koper dan kuselempangkan laptop yang telah kubalut dengan plastik, siap menerobos rintik-rintik hujan. Langkahku sempat terhenti dan duduk di lobi asrama, mengharap curahan hujan sedikit mereda. Kubuka kamus kantong dari tas laptop. Aku selalu berusaha menghilangkan kejenuhan menunggu dengan sesuatu yang berguna, misalnya membaca dan itu kupraktekkan saat ini. Karena bagiku menunggu adalah sebuah pekerjaan yang sangat membosankan, apalagi menunggu sesuatu yang tidak pasti. Beberapa lembar telah kulumat habis. Kekhawatiran kembali menerpa. Jarum jam telah menunjuk angka 11 teng. Kuperhatikan keadaan sekeliling. Sepi yang kutemukan.
“Alhamdulillah, agak reda,” desisku gembira. Tanpa pikir panjang kuajak kakiku meninggalkan asrama sebelum hujan turun lebih deras lagi. Dengan agak kepayahan  dan baju basah akhirnya aku sampai di halaman masjid Fathullah, sebuah masjid milik universitas tempat aku menimba ilmu sekarang.
“Oh, iya. Aku  harus ke ATM,” Aku teringat sesuatu saat tangan kananku hendak menyetop angkot  S10. Segera kuputar langkah menuju ATM yang terletak di wisma usaha UIN Syahid. Aku tak perlu ngantri seperti biasanya. Sejumlah uang dari nominal yang kupilih telah berada dalam genggaman. Aku melangkah keluar, seorang pengumpul sumbangan dari sebuah yayasan sosial masih setia menunggu amplop yang diberikannya tadi sebelum aku masuk ke ATM sembari berharap amplopnya kembali dengan lembaran rupiah. Aku mengembalikannya setelah menyelipkan selembar kertas yang dikeluarkan Bank Indonesia, bertuliskan angka lima dengan tiga angka nol di belakangnya. Tentu saja aku belum bisa memberi banyak dengan kondisiku juga yang masih bergantung finansial kepada orang tua, yang saat ini bayangannya menggantung di pelupuk mata. Rasanya ingin segera sampai di rumah, merangkul mereka dengan penuh cinta.

***
Pasar Jum’at, 17.00 WIB.
Halte pasar Jum’at terasa sangat berbeda kali ini. Bosan, jenuh, takut dan sebal memenuhi rongga dadaku. Aku hilir mudik melongok kesana-kemari menunggu sesuatu yang sangat kubutuhkan saat ini. Aku tak bisa konsen dengan buku yang kupegang. Sore semakin menampakkan kesuramannya, hujan belum mau berhenti meneteskan butiran-butirannya. Orang-orang semakin padat memenuhi halte, perasaanku semakin tak menentu. Kugenggam erat tiket pesawat dan berkali-kali kueja jadwal keberangkatan. Kegelisahanku dibuyarkan dengan sebuah pertanyaan yang tidak kuinginkan dari bang Andy, saudara jauhku dari pihak ayah yang juga kuliah di tempat yang sama denganku.
  “Kok harus pulang sih, dek?” Kata bang Andi memecah kebisuan yang sore ini akan mengantarkan aku ke bandara Soekarno-Hatta karena bang Rois, sepupuku ada tugas yang harus diembannya.
Aku menatapnya sekilas dengan ekspresi yang tidak bisa kubuat manis. “Rindu Mak, Ayah, dan Adek-adek.” Jawabku dingin.
“Lebaran kemaren  kan Adek udah pulang?” Tanyanya lagi.
“Emang salah kalau aku pulang lagi??” Tanyaku sebal.
Ah, saat itu aku memang benar-benar tidak tahu terima kasih.
“Nggak salah, sih. Tapi kenapa kamu jadi kelihatan sewot begitu?” Tanyanya agak heran mengamati air muka dan sikapku yang sama sekali tidak bersahabat.
“Aku lagi kesal!” Jawabku pendek seraya berusaha membendung kristal-kristal putih yang siap meluncur. Aku sadar ini salah satu kebiasaan jelekku; menyalahkan semua orang karena ada hal yang tidak berkenan di hatiku. Aku semakin membuang wajah dari tatapannya. Hari ini kekesalanku bertumpuk-tumpuk, aku kesal pada hujan kenapa harus turun ketika aku pulang? Aku sebal pada Gubernur DKI Jakarta kenapa sampai sekarang nggak bisa mengatasi banjir? Aku juga menyalahkan masyarakat Ibu Kota kenapa nggak bisa buang sampah pada tempatnya? Aku juga sebal pada orang-orang Bogor kenapa mereka suka ngirimin banjir ke Jakarta? Aku  benci kenapa bus Bandara belum nongol-nongol juga? Aku juga sempat marah kepada bang Rois yang lebih mementingkan kerjaannya dibandingkan aku, adiknya. Dan aku lebih kesal pada bang Andi yang dari awal memulai penantian ini sudah kuajak naik taksi aja tapi dia keukeuh nungguin Damri. Alasannya karena lebih ekonomis, iya sih, pikirku juga. Dan yang paling aku kesalkan dan sayangkan kenapa kemarin aku beli tiket promo? Tiket promo kan nggak bisa di-cancel atau minta ganti rugi kalau nggak jadi berangkat? Lemas persendianku kalau udah menyangkut uang karena orang tua di kampung susah payah mengumpulkannya.
Yaa… Saat itu aku merasa orang yang paling dizalimi…
Sudah tiga jam aku duduk, berdiri dan duduk lagi di halte ini demi menunggu bus Damri yang tak jua kelihatan batang hidungnya. Penantianku di ambang batas, aku sudah tidak kuat membendung air mataku, pertahananku bobol. Aku menangis di depan bang Andi. Aku malu sekali tetapi tetap kulanjutkan tangisku.
“Sudah, jangan nangis. Udah gede masih cengeng,” bujuknya menenangkan
“Aku takut, bang..,” kataku sesenggukan, kekesalanku menguap jadi keputus asaan. Rasa takut nggak jadi pulang karena ditinggal pesawat semakin pekat.
“Kita tunggu satu jam lagi ya, kalau Damrinya belum juga nongol baru kita naik taksi.” Suaranya lembut menghibur, “ke bandara dekat kok kalau lagi nggak macet,” suaranya agak pelan di kalimat terakhir. Kata terakhir ini nih kata yang paling aku benci selama di Jakarta. Aku hampir lupa menyebutkan satu hal lagi yang sangat tidak kusenangi, aku sangat benci macet!!!
Tiba-tiba aku dikagetkan dengan kedatangan bang Rois. Pakaiannya basah kuyup. Aku jadi terharu dan merasa bersalah telah marah padanya. Buktinya di tengah hujan yang belum mereda ini dia nggak lupa sama aku, dia tetap memperhatikan aku  meski aku tahu dia sangat capek hari ini. Bang Rois langsung menyetop taksi tanpa banyak bicara soalnya aku harus sudah chek-in satu jam sebelum pesawat  take off. bang Andi disuruh pulang ke Ciputat dan akupun berlalu dari hadapannya tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Di tengah perjalanan panjang itu aku selalu berdoa “Ya Allah, aku cuma bisa mengharap Cinta-Mu. Aku tahu hujan adalah rahmat-Mu, tapi please kali ini rahmat-Mu yang satu ini dipending dulu.” Pintaku penuh harap. Perasaanku semakin gundah gulana mendengar berita di radio.
Mujur tak dapat diraih, untung tak dapat ditolak. Kalau Allah berkehendak lain, semaksimal apapun usaha kita tak akan kesampaian. Dan ketika itu menimpaku, aku tak kuasa menolak kecuali berusaha ikhlas dan meresapi hikmahnya. Semalaman  sampai jam 00.00 aku masih berada di jalanan, taksi yang kutumpangi ngesot saja susah, mau disuruh berlari dalam kondisi seperti ini sangat mustahil sekali. Kuda-kuda besi mati suri, rumah-rumah baja diam membisu. Kemacetan hampir di semua ruas jalan, banjir merendam Jakarta dan mengepung bandara. Jadwal keberangkatanku telah lewat, di tanganku masih tergenggam tiket pesawat yang tiada lagi harganya. Aku tersenyum miris. Tiket hangus uang tak kembali karena katanya itu tiket promosi. Padahal harga tiket itu biaya hidupku sebulan di Jakarta. Aku hanya yakin Allah pasti menyelipkan hikmah di balik semua ini.
***
Minggu, 03 Februari ‘08
Akhirnya liburan semester ganjil kali ini terpaksa aku habiskan lagi  di ASPI. Yach.., Selama sebulan aku akan bersemedi dan bertapa di kamar dengan harapan akan memperoleh ilmu laduni karena memang aku nggak punya planning liburan di ASPI. He-eh just kidding….! Kuraih hape, temanku yang paling setia. Kupasang headset dan mulai mencari stasiun radio kesukaanku. Begitulah salah satu caraku membunuh waktu.

Aspi, Senin, 04 Februari 2008.
Walaupun awalnya terasa berat karena harus sendiri di kamar bahkan sendiri di satu lorong di gedung A, tapi aku berusaha tetap membuat liburan ini mengasyikkan. Biarlah tiap hari ketemu kak Ade yang tak pernah absen dengan sebutan istimewanya padaku. Atau kak Lala, partner kerjanya kak Ade alias security juga di asramaku yang kayaknya malas senyum, sakit gigi kali ya? Dan para petinggi-petinggi ASPI lainnya. Ataupun teman-teman FKIK (Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan) yang tetap kuliah meski fakultas lain sudah beranjangsana-beranjangsini menikmati liburan.
Bila teringat ayah, ibu dan adik-adik di rumah, Jauuuuuuh….. di pelosok Sumatera Utara sana, tak terasa buliran bola-bola panas mengalir di pipi. Betapa rindu ini masih membara dan terus bergejolak, dan kamarku bersama Neng, Lia dan Indi ini adalah salah satu saksinya kalau aku ingin pulang karena dilanda kerinduan.

***
Aspi, Selasa, 03 Juni 2008.
Alhamdulillah, tulisan “aneh” ini hampir kelar juga bersamaan hampir habisnya kontrak tinggal di ASPI. Ternyata sedih juga rasanya akan meninggalkan ASPI, berpisah dengan teman-teman sekamar, selorong, segedung dan seasrama, dan juga bersedih riwayat keartisanku juga akan lenyap karena nggak ada lagi orang yang memanggilku Titi Kamal biarpun hanya Titi Kamal tiruan. Kalau bukan karena di ASPI juga aku tak mungkin tiba-tiba bisa satu kamar dengan orang yang sama sekali belum aku kenal sebelumnya dan berasal dari bermacam suku bangsa. Disini kita saling menghargai perbedaan dan bekerjasama karena kita semua punya tujuan yang sama datang ke kota ini. Dan aku merasa lebih sedih lagi insya Allah, jika tidak ada aral melintang tahun ini aku akan meninggalkan teman-teman, meninggalkan ASPI, meninggalkan fakultas, meninggalkan kampus bahkan meninggalkan tanah air ini demi mengejar sepotong cita-cita di bumi para Nabi. Doakan aku agar sukses mengukir asa dan sepotong cita di angkasa sana. Amin. Aku juga tak pernah lupa doakan kamu.

                                                                                                   Kamar 107 A, 01.00 WIB
                                                                                                   

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jadul Semua

Syukurku Pada-Mu...